UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG
KEIMIGRASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan
kedaulatan atas Wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban
kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa perkembangan
global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang
menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan maupun yang
merugikan kepentingan dan kehidupan bangsa dan negara Republik
Indonesia, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang
menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan,
dan pemajuan hak asasi manusia;
c. bahwa Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian sudah tidak memadai lagi untuk
memenuhi berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, pelayanan, dan
pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti
dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu menjawab
tantangan yang ada;
d. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu membentuk Undang-Undang tentang Keimigrasian;
Mengingat : Pasal 5
ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEIMIGRASIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Keimigrasian adalah
hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia
serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
2. Wilayah Negara
Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Wilayah Indonesia adalah
seluruh wilayah Indonesia serta zona tertentu yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
3. Fungsi Keimigrasian
adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan
pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan
fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Imigrasi.
6. Direktorat Jenderal
Imigrasi adalah unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia di bidang Keimigrasian.
7. Pejabat Imigrasi
adalah pegawai yang telah melalui pendidikan khusus Keimigrasian dan
memiliki keahlian teknis Keimigrasian serta memiliki wewenang untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang ini.
8. Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Keimigrasian yang selanjutnya disebut dengan PPNS
Keimigrasian adalah Pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana Keimigrasian.
10. Sistem Informasi
Manajemen Keimigrasian adalah sistem teknologi informasi dan komunikasi
yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi
guna mendukung operasional, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam
melaksanakan Fungsi Keimigrasian.
11. Kantor Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi Keimigrasian di daerah kabupaten, kota, atau kecamatan.
12. Tempat Pemeriksaan
Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos
lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah
Indonesia.
13. Dokumen Perjalanan
adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari
suatu negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi internasional
lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara yang memuat identitas
pemegangnya.
14. Dokumen Keimigrasian
adalah Dokumen Perjalanan Republik Indonesia, dan Izin Tinggal yang
dikeluarkan oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri.
15. Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia adalah Paspor Republik Indonesia dan Surat Perjalanan
Laksana Paspor Republik Indonesia.
16. Paspor Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut Paspor adalah dokumen yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga Negara
Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama
jangka waktu tertentu.
17. Surat Perjalanan
Laksana Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Surat
Perjalanan Laksana Paspor adalah dokumen pengganti paspor yang diberikan
dalam keadaan tertentu yang berlaku selama jangka waktu tertentu.
18. Visa Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang di Perwakilan Republik Indonesia
atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan perjalanan ke
Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian Izin Tinggal.
19. Tanda Masuk adalah
tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga
Negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang
diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan
masuk Wilayah Indonesia.
20. Tanda Keluar adalah
tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga
Negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang
diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan
keluar Wilayah Indonesia.
21. Izin Tinggal adalah
izin yang diberikan kepada Orang Asing oleh Pejabat Imigrasi atau
pejabat dinas luar negeri untuk berada di Wilayah Indonesia.
22. Pernyataan Integrasi
adalah pernyataan Orang Asing kepada Pemerintah Republik Indonesia
sebagai salah satu syarat memperoleh Izin Tinggal Tetap.
23. Izin Tinggal Tetap
adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing tertentu untuk bertempat
tinggal dan menetap di Wilayah Indonesia sebagai penduduk Indonesia.
24. Izin Masuk Kembali
adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi kepada Orang
Asing pemegang Izin Tinggal terbatas dan Izin Tinggal Tetap untuk masuk
kembali ke Wilayah Indonesia.
25. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
26. Penjamin adalah
orang atau Korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan
Orang Asing selama berada di Wilayah Indonesia.
27. Alat Angkut adalah
kapal laut, pesawat udara, atau sarana transportasi lain yang lazim
digunakan, baik untuk mengangkut orang maupun barang.
28. Pencegahan adalah
larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia
berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh
undang-undang.
29. Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian.
30. Intelijen
Keimigrasian adalah kegiatan penyelidikan Keimigrasian dan pengamanan
Keimigrasian dalam rangka proses penyajian informasi melalui analisis
guna menetapkan perkiraan keadaan Keimigrasian yang dihadapi atau yang
akan dihadapi.
31. Tindakan
Administratif Keimigrasian adalah sanksi administratif yang ditetapkan
Pejabat Imigrasi terhadap Orang Asing di luar proses peradilan.
32. Penyelundupan
Manusia adalah perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain
yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi
maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa
seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak
terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah
Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara
lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah
tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen
palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui
pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
33. Rumah Detensi
Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi
Keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang
dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian.
34. Ruang Detensi
Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang
dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian yang berada di Direktorat
Jenderal Imigrasi dan Kantor Imigrasi.
35. Deteni adalah Orang
Asing penghuni Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi yang
telah mendapatkan keputusan pendetensian dari Pejabat Imigrasi.
36. Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.
37. Penanggung Jawab
Alat Angkut adalah pemilik, pengurus, agen, nakhoda, kapten kapal,
kapten pilot, atau pengemudi alat angkut yang bersangkutan.
38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
39. Perwakilan Republik
Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsulat Jenderal
Republik Indonesia, dan Konsulat Republik Indonesia.
Pasal 2
Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk Wilayah Indonesia.
BAB II
PELAKSANAAN FUNGSI KEIMIGRASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Untuk melaksanakan Fungsi Keimigrasian, Pemerintah menetapkan kebijakan Keimigrasian.
(2) Kebijakan Keimigrasian dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Fungsi Keimigrasian
di sepanjang garis perbatasan Wilayah Indonesia dilaksanakan oleh
Pejabat Imigrasi yang meliputi Tempat Pemeriksaan Imigrasi dan pos
lintas batas.
Pasal 4
(1) Untuk melaksanakan
Fungsi Keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat dibentuk
Kantor Imigrasi di kabupaten, kota, atau kecamatan.
(2) Di setiap wilayah kerja Kantor Imigrasi dapat dibentuk Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(3) Pembentukan Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri.
(4) Selain Kantor
Imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk Rumah
Detensi Imigrasi di ibu kota negara, provinsi, kabupaten, atau kota.
(5) Kantor Imigrasi dan
Rumah Detensi Imigrasi merupakan unit pelaksana teknis yang berada di
bawah Direktorat Jenderal Imigrasi.
Pasal 5
Fungsi Keimigrasian di
setiap Perwakilan Republik Indonesia atau tempat lain di luar negeri
dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi dan/atau pejabat dinas luar negeri
yang ditunjuk.
Pasal 6
Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang Keimigrasian dengan negara lain dan/atau dengan badan atau organisasi internasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian
Pasal 7
(1) Direktur Jenderal
bertanggung jawab menyusun dan mengelola Sistem Informasi Manajemen
Keimigrasian sebagai sarana pelaksanaan Fungsi Keimigrasian di dalam
atau di luar Wilayah Indonesia.
(2) Sistem Informasi
Manajemen Keimigrasian dapat diakses oleh instansi dan/atau lembaga
pemerintahan terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya.
BAB III
MASUK DAN KELUAR WILAYAH INDONESIA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
(2) Setiap Orang Asing
yang masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih
berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan
perjanjian internasional.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang
dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan Dokumen Perjalanan dan/atau identitas diri yang sah.
(3) Dalam hal terdapat
keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau identitas diri
seseorang, Pejabat Imigrasi berwenang untuk melakukan penggeledahan
terhadap badan dan barang bawaan dan dapat dilanjutkan dengan proses
penyelidikan Keimigrasian.
Bagian Kedua
Masuk Wilayah Indonesia
Pasal 10
Orang Asing yang telah memenuhi persyaratan dapat masuk Wilayah Indonesia setelah mendapatkan Tanda Masuk.
Pasal 11
(1) Dalam keadaan darurat Pejabat Imigrasi dapat memberikan Tanda Masuk yang bersifat darurat kepada Orang Asing.
(2) Tanda Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai Izin Tinggal kunjungan dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 12
Menteri berwenang melarang Orang Asing berada di daerah tertentu di Wilayah Indonesia.
Pasal 13
(1) Pejabat Imigrasi menolak Orang Asing masuk Wilayah Indonesia dalam hal orang asing tersebut:
a. namanya tercantum dalam daftar Penangkalan;
b. tidak memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan berlaku;
c. memiliki dokumen Keimigrasian yang palsu;
d. tidak memiliki Visa, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa;
e. telah memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Visa;
f. menderita penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum;
g. terlibat kejahatan internasional dan tindak pidana transnasional yang terorganisasi;
h. termasuk dalam daftar pencarian orang untuk ditangkap dari suatu negara asing;
i. terlibat dalam kegiatan makar terhadap Pemerintah Republik Indonesia; atau
j. termasuk dalam jaringan praktik atau kegiatan prostitusi, perdagangan orang, dan penyelundupan manusia.
(2) Orang Asing yang
ditolak masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan dalam
pengawasan sementara menunggu proses pemulangan yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Setiap warga negara Indonesia tidak dapat ditolak masuk Wilayah Indonesia.
(2) Dalam hal terdapat
keraguan terhadap Dokumen Perjalanan seorang warga negara Indonesia
dan/atau status kewarganegaraannya, yang bersangkutan harus memberikan
bukti lain yang sah dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan adalah warga negara Indonesia.
(3) Dalam rangka
melengkapi bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan
dapat ditempatkan dalam Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi
Imigrasi.
Bagian Ketiga
Keluar Wilayah Indonesia
Pasal 15
Setiap orang dapat keluar Wilayah Indonesia setelah memenuhi persyaratan dan mendapat Tanda Keluar dari Pejabat Imigrasi.
Pasal 16
(1) Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut:
a. tidak memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku;
b. diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang; atau
c. namanya tercantum dalam daftar Pencegahan.
(2) Pejabat Imigrasi
juga berwenang menolak Orang Asing untuk keluar Wilayah Indonesia dalam
hal Orang Asing tersebut masih mempunyai kewajiban di Indonesia yang
harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Kewajiban Penanggung Jawab Alat Angkut
Pasal 17
(1) Penanggung Jawab
Alat Angkut yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia dengan alat
angkutnya wajib melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(2) Penanggung Jawab
Alat Angkut yang membawa penumpang yang akan masuk atau keluar Wilayah
Indonesia hanya dapat menurunkan atau menaikkan penumpang di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi.
(3) Nakhoda kapal laut
wajib melarang Orang Asing yang tidak memenuhi persyaratan untuk
meninggalkan alat angkutnya selama alat angkut tersebut berada di
Wilayah Indonesia.
Pasal 18
(1) Penanggung Jawab
Alat Angkut yang datang dari luar Wilayah Indonesia atau akan berangkat
keluar Wilayah Indonesia diwajibkan untuk:
a. sebelum kedatangan
atau keberangkatan memberitahukan rencana kedatangan atau rencana
keberangkatan secara tertulis atau elektronik kepada Pejabat Imigrasi;
b. menyampaikan daftar penumpang dan daftar awak alat angkut yang ditandatanganinya kepada Pejabat Imigrasi;
c. memberikan tanda
atau mengibarkan bendera isyarat bagi kapal laut yang datang dari luar
Wilayah Indonesia dengan membawa penumpang;
d. melarang setiap
orang naik atau turun dari alat angkut tanpa izin Pejabat Imigrasi
sebelum dan selama dilakukan pemeriksaan Keimigrasian;
e. melarang setiap
orang naik atau turun dari alat angkut yang telah mendapat penyelesaian
Keimigrasian selama menunggu keberangkatan;
f. membawa kembali
keluar Wilayah Indonesia pada kesempatan pertama setiap Orang Asing yang
tidak memenuhi persyaratan yang datang dengan alat angkutnya;
g. menjamin bahwa
Orang Asing yang diduga atau dicurigai akan masuk ke Wilayah Indonesia
secara tidak sah untuk tidak turun dari alat angkutnya; dan
h. menanggung segala biaya yang timbul sebagai akibat pemulangan setiap penumpang dan/atau awak alat angkutnya.
(2) Penanggung Jawab
Alat Angkut reguler wajib menggunakan sistem informasi pemrosesan
pendahuluan data penumpang dan melakukan kerja sama dalam rangka
pemberitahuan data penumpang melalui Sistem Informasi Manajemen
Keimigrasian.
Pasal 19
(1) Penanggung Jawab
Alat Angkut wajib memeriksa Dokumen Perjalanan dan/atau Visa setiap
penumpang yang akan melakukan perjalanan masuk Wilayah Indonesia.
(2) Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum penumpang naik ke
alat angkutnya yang akan menuju Wilayah Indonesia.
(3) Penanggung Jawab
Alat Angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menolak untuk
mengangkut setiap penumpang yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan,
Visa, dan/atau Dokumen Keimigrasian yang sah dan masih berlaku.
(4) Jika dalam
pemeriksaan Keimigrasian oleh Pejabat Imigrasi ditemukan ada penumpang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penanggung Jawab Alat Angkut dikenai
sanksi berupa biaya beban dan wajib membawa kembali penumpang tersebut
keluar Wilayah Indonesia.
Pasal 20
Pejabat Imigrasi yang
bertugas berwenang naik ke alat angkut yang berlabuh di pelabuhan,
mendarat di Bandar udara, atau berada di pos lintas batas untuk
kepentingan pemeriksaan Keimigrasian.
Pasal 21
Dalam hal terdapat
dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 atau Pasal 18, Pejabat Imigrasi berwenang memerintahkan
Penanggung Jawab Alat Angkut untuk menghentikan atau membawa alat
angkutnya ke suatu tempat guna kepentingan pemeriksaan Keimigrasian.
Bagian Kelima
Area Imigrasi
Pasal 22
(1) Setiap Tempat
Pemeriksaan Imigrasi ditetapkan suatu area tertentu untuk melakukan
pemeriksaan Keimigrasian yang disebut dengan area imigrasi.
(2) Area imigrasi
merupakan area terbatas yang hanya dapat dilalui oleh penumpang atau
awak alat angkut yang akan keluar atau masuk Wilayah Indonesia atau
pejabat dan petugas yang berwenang.
(3) Kepala Kantor
Imigrasi bersama-sama dengan penyelenggara bandar udara, pelabuhan laut,
dan pos lintas batas menetapkan area imigrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Penyelenggara
bandar udara, pelabuhan laut, dan pos lintas batas dapat mengeluarkan
tanda untuk memasuki area imigrasi setelah mendapat persetujuan kepala
Kantor Imigrasi.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara masuk dan keluar Wilayah Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
DOKUMEN PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 24
(1) Dokumen Perjalanan Republik Indonesia terdiri atas:
a. Paspor; dan
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor.
(2) Paspor terdiri atas:
a. Paspor diplomatik;
b. Paspor dinas; dan
c. Paspor biasa.
(3) Surat Perjalanan Laksana Paspor terdiri atas:
a. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk warga negara Indonesia;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing; dan
c. surat perjalanan lintas batas atau pas lintas batas;
(4) Dokumen Perjalanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen negara.
Pasal 25
(1) Paspor diplomatik
diterbitkan bagi warga Negara Indonesia yang akan melakukan perjalanan
keluar Wilayah Indonesia dalam rangka penempatan atau perjalanan tugas
yang bersifat diplomatik.
(2) Paspor dinas
diterbitkan bagi warga negara Indonesia yang akan melakukan perjalanan
keluar Wilayah Indonesia dalam rangka penempatan atau perjalanan dinas
yang tidak bersifat diplomatik.
(3) Paspor diplomatik dan Paspor dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan oleh Menteri Luar Negeri.
Pasal 26
(1) Paspor biasa diterbitkan untuk warga Negara Indonesia.
(2) Paspor biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
Pasal 27
(1) Surat Perjalanan
Laksana Paspor untuk warga Negara Indonesia dikeluarkan bagi warga
negara Indonesia dalam keadaan tertentu jika Paspor biasa tidak dapat
diberikan.
(2) Surat Perjalanan
Laksana Paspor untuk Orang Asing dikeluarkan bagi Orang Asing yang tidak
mempunyai Dokumen Perjalanan yang sah dan negaranya tidak mempunyai
perwakilan di Indonesia.
(3) Surat Perjalanan Laksana Paspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal:
a. atas kehendak sendiri keluar Wilayah Indonesia sepanjang tidak terkena pencegahan;
b. dikenai Deportasi; atau
c. repatriasi.
(4) Surat Perjalanan Laksana Paspor diterbitkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
Pasal 28
Surat Perjalanan Laksana Paspor dapat dikeluarkan untuk orang perseorangan atau kolektif.
Pasal 29
(1) Surat perjalanan
lintas batas atau pas lintas batas dapat dikeluarkan bagi warga negara
Indonesia yang berdomisili di wilayah perbatasan negara Republik
Indonesia dengan negara lain sesuai dengan perjanjian lintas batas.
(2) Surat perjalanan lintas batas atau pas lintas batas diterbitkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
Pasal 30
Setiap warga negara
Indonesia hanya diperbolehkan memegang 1 (satu) Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia yang sejenis atas namanya sendiri yang masih berlaku.
Pasal 31
(1) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk berwenang melakukan penarikan atau
pencabutan Paspor biasa, Surat Perjalanan Laksana Paspor, dan surat
perjalanan lintas batas atau pas lintas batas yang telah dikeluarkan.
(2) Menteri Luar Negeri
atau pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan penarikan atau
pencabutan Paspor diplomatik dan Paspor dinas.
(3) Penarikan Paspor biasa dilakukan dalam hal:
a. pemegangnya melakukan tindak pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia; atau
b. pemegangnya termasuk dalam daftar Pencegahan.
Pasal 32
(1) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk bertanggung jawab atas perencanaan,
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengamanan blanko dan
formulir:
a. Paspor biasa;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor; dan
c. surat perjalanan lintas batas atau pas lintas batas.
(2) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk menetapkan spesifikasi teknis pengamanan
dengan standar bentuk, ukuran, desain, fitur pengamanan, dan isi blanko
sesuai dengan standar internasional serta formulir:
a. Paspor biasa;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor; dan
c. surat perjalanan lintas batas atau pas lintas batas.
(3) Pejabat Imigrasi
atau pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pengisian dan pencatatan,
baik secara manual maupun elektronik, dalam blanko dan formulir:
a. Paspor biasa;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor; dan
c. surat perjalanan lintas batas atau pas lintas batas.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan persyaratan pemberian, penarikan, pembatalan,
pencabutan, penggantian, serta pengadaan blanko dan standardisasi
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
VISA, TANDA MASUK, DAN IZIN TINGGAL
Bagian Kesatu
Visa
Pasal 34
Visa terdiri atas:
a. Visa diplomatik;
b. Visa dinas;
c. Visa kunjungan; dan
d. Visa tinggal terbatas.
Pasal 35
Visa diplomatik
diberikan kepada Orang Asing pemegang Paspor diplomatik dan paspor lain
untuk masuk Wilayah Indonesia guna melaksanakan tugas yang bersifat
diplomatik.
Pasal 36
Visa dinas diberikan
kepada Orang Asing pemegang Paspor dinas dan Paspor lain yang akan
melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dalam rangka melaksanakan
tugas resmi yang tidak bersifat diplomatic dari pemerintah asing yang
bersangkutan atau organisasi internasional.
Pasal 37
Pemberian Visa
diplomatik dan Visa dinas merupakan kewenangan Menteri Luar Negeri dan
dalam pelaksanaannya dikeluarkan oleh pejabat dinas luar negeri di
Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 38
Visa kunjungan diberikan
kepada Orang Asing yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia
dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, social budaya,
pariwisata, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk meneruskan
perjalanan ke negara lain.
Pasal 39
Visa tinggal terbatas diberikan kepada Orang Asing:
a. sebagai rohaniawan,
tenaga ahli, pekerja, peneliti, pelajar, investor, lanjut usia, dan
keluarganya, serta Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia untuk
bertempat tinggal dalam jangka waktu yang terbatas; atau
b. dalam rangka
bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang
beroperasi di wilayah perairan nusantara, laut teritorial, landas
kontinen, dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pasal 40
(1) Pemberian Visa kunjungan dan Visa tinggal terbatas merupakan kewenangan Menteri.
(2) Visa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dan ditandatangani oleh Pejabat
Imigrasi di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(3) Dalam hal
Perwakilan Republik Indonesia belum ada Pejabat Imigrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pemberian Visa kunjungan dan Visa tinggal
terbatas dilaksanakan oleh pejabat dinas luar negeri.
(4) Pejabat dinas luar
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa
setelah memperoleh Keputusan Menteri.
Pasal 41
(1) Visa kunjungan dapat juga diberikan kepada Orang Asing pada saat kedatangan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
(2) Orang Asing yang
dapat diberikan Visa kunjungan saat kedatangan adalah warga negara dari
Negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri.
(3) Pemberian Visa
kunjungan saat kedatangan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi.
Pasal 42
Permohonan Visa ditolak dalam hal pemohon:
a. namanya tercantum dalam daftar Penangkalan;
b. tidak memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku;
c. tidak cukup memiliki biaya hidup bagi dirinya dan/atau keluarganya selama berada di Indonesia;
d. tidak memiliki tiket kembali atau tiket terusan untuk melanjutkan perjalanan ke negara lain;
e. tidak memiliki Izin Masuk Kembali ke negara asal atau tidak memiliki visa ke negara lain;
f. menderita penyakit menular, gangguan jiwa, atau hal lain yang dapat membahayakan kesehatan atau ketertiban umum;
g. terlibat tindak
pidana transnasional yang terorganisasi atau membahayakan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
h. termasuk dalam jaringan praktik atau kegiatan prostitusi, perdagangan orang, dan penyelundupan manusia.
Pasal 43
(1) Dalam hal tertentu Orang Asing dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa.
(2) Orang Asing yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. warga negara dari
negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden dengan
memperhatikan asas timbal balik dan asas manfaat;
b. warga negara asing pemegang Izin Tinggal yang memiliki Izin Masuk Kembali yang masih berlaku;
c. nakhoda, kapten pilot, atau awak yang sedang bertugas di alat angkut;
d. nakhoda, awak
kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut atau alat apung yang
dating langsung dengan alat angkutnya untuk beroperasi di perairan
Nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
Bagian Kedua
Tanda Masuk
Pasal 44
(1) Orang Asing dapat masuk Wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Masuk.
(2) Tanda Masuk
diberikan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi kepada
Orang Asing yang telah memenuhi persyaratan masuk Wilayah Indonesia.
Pasal 45
(1) Tanda Masuk bagi
Orang Asing pemegang Visa diplomatik atau Visa dinas yang melakukan
kunjungan singkat di Indonesia berlaku juga sebagai Izin Tinggal
diplomatik atau Izin Tinggal dinas.
(2) Tanda Masuk bagi
Orang Asing yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa atau pemegang
Visa kunjungan berlaku juga sebagai Izin Tinggal kunjungan.
Pasal 46
(1) Orang Asing
pemegang Visa diplomatik atau Visa dinas dengan maksud bertempat tinggal
di Wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan
permohonan kepada Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk untuk
memperoleh Izin Tinggal diplomatik atau Izin Tinggal dinas.
(2) Orang Asing
pemegang Visa tinggal terbatas setelah mendapat Tanda Masuk wajib
mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh
Izin Tinggal terbatas.
(3) Jika Orang Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak melaksanakan
kewajiban tersebut, Orang Asing yang bersangkutan dianggap berada di
Wilayah Indonesia secara tidak sah.
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan dan tata cara permohonan, jenis kegiatan, dan
jangka waktu Visa, serta tata cara pemberian Tanda Masuk diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Izin Tinggal
Pasal 48
(1) Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Izin Tinggal.
(2) Izin Tinggal diberikan kepada Orang Asing sesuai dengan Visa yang dimilikinya.
(3) Izin Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Izin Tinggal diplomatik;
b. Izin Tinggal dinas;
c. Izin Tinggal kunjungan;
d. Izin Tinggal terbatas; dan
e. Izin Tinggal Tetap.
(4) Menteri berwenang melarang Orang Asing yang telah diberi Izin Tinggal berada di daerah tertentu di Wilayah Indonesia.
(5) Terhadap Orang
Asing yang sedang menjalani penahanan untuk kepentingan proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau
menjalani pidana kurungan atau pidana penjara di lembaga pemasyarakatan,
sedangkan izin tinggalnya telah lampau waktu, Orang Asing tersebut
tidak dikenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 49
(1) Izin Tinggal diplomatik diberikan kepada Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia dengan Visa diplomatik.
(2) Izin Tinggal dinas diberikan kepada Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia dengan Visa dinas.
(3) Izin Tinggal diplomatik dan Izin Tinggal dinas serta perpanjangannya diberikan oleh Menteri Luar Negeri.
Pasal 50
(1) Izin Tinggal kunjungan diberikan kepada:
a. Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia dengan Visa kunjungan; atau
b. anak yang baru lahir di Wilayah Indonesia dan pada saat lahir ayah dan/atau ibunya pemegang Izin Tinggal kunjungan.
(2) Izin Tinggal
kunjungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan sesuai
dengan Izin Tinggal kunjungan ayah dan/atau ibunya.
Pasal 51
Izin Tinggal kunjungan berakhir karena pemegang Izin Tinggal kunjungan:
a. kembali ke negara asalnya;
b. izinnya telah habis masa berlaku;
c. izinnya beralih status menjadi Izin Tinggal terbatas;
d. izinnya dibatalkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk;
e. dikenai Deportasi; atau
f. meninggal dunia.
Pasal 52
Izin Tinggal terbatas diberikan kepada:
a. Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia dengan Visa tinggal terbatas;
b. anak yang pada saat lahir di Wilayah Indonesia ayah dan/atau ibunya pemegang Izin Tinggal terbatas;
c. Orang Asing yang diberikan alih status dari Izin Tinggal kunjungan;
d. nakhoda, awak
kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut, alat apung, atau
instalasi yang beroperasi di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia; atau
f. anak dari Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia.
Pasal 53
Izin Tinggal terbatas berakhir karena pemegang Izin Tinggal terbatas:
a. kembali ke negara asalnya dan tidak bermaksud masuk lagi ke Wilayah Indonesia;
b. kembali ke negara asalnya dan tidak kembali lagi melebihi masa berlaku Izin Masuk Kembali yang dimilikinya;
c. memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia;
d. izinnya telah habis masa berlaku;
e. izinnya beralih status menjadi Izin Tinggal Tetap;
f. izinnya dibatalkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk;
g. dikenai Deportasi; atau
h. meninggal dunia.
Pasal 54
(1) Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada:
a. Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas sebagai rohaniwan, pekerja, investor, dan lanjut usia;
b. keluarga karena perkawinan campuran;
c. suami, istri, dan/atau anak dari Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap; dan
d. Orang Asing eks warga negara Indonesia dan eks subjek anak berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia.
(2) Izin Tinggal Tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Orang Asing
yang tidak memiliki paspor kebangsaan.
(3) Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap merupakan penduduk Indonesia.
Pasal 55
Pemberian, perpanjangan,
dan pembatalan Izin Tinggal kunjungan, Izin Tinggal terbatas, dan Izin
Tinggal Tetap dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang
ditunjuk.
Pasal 56
(1) Izin Tinggal yang telah diberikan kepada Orang Asing dapat dialihstatuskan.
(2) Izin Tinggal yang
dapat dialihstatuskan adalah Izin Tinggal kunjungan menjadi Izin Tinggal
terbatas dan Izin Tinggal terbatas menjadi Izin Tinggal Tetap.
(3) Alih status Izin Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 57
(1) Izin Tinggal kunjungan dan Izin Tinggal terbatas dapat juga dialihstatuskan menjadi Izin Tinggal dinas.
(2) Alih status
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
Keputusan Menteri setelah mendapat persetujuan Menteri Luar Negeri.
Pasal 58
Dalam hal Pejabat
Imigrasi meragukan status Izin Tinggal Orang Asing dan kewarganegaraan
seseorang, Pejabat Imigrasi berwenang menelaah serta memeriksa status
Izin Tinggal dan kewarganegaraannya.
Pasal 59
(1) Izin Tinggal Tetap
diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
waktu yang tidak terbatas sepanjang izinnya tidak dibatalkan.
(2) Pemegang Izin
Tinggal Tetap untuk jangka waktu yang tidak terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib melapor ke Kantor Imigrasi setiap 5 (lima)
tahun dan tidak dikenai biaya.
Pasal 60
(1) Izin Tinggal Tetap
bagi pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a
diberikan setelah pemohon tinggal menetap selama 3 (tiga) tahun
berturut-turut dan menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah
Republik Indonesia.
(2) Untuk mendapatkan
Izin Tinggal Tetap bagi pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(1) huruf b diberikan setelah usia perkawinannya mencapai 2 (dua) tahun
dan menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah Republik
Indonesia.
(3) Izin Tinggal Tetap bagi pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c dan huruf d dapat langsung diberikan.
Pasal 61
Pemegang Izin Tinggal
terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dan huruf f dan
pemegang Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
huruf b dan huruf d dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya.
Pasal 62
(1) Izin Tinggal Tetap dapat berakhir karena pemegang Izin Tinggal Tetap:
a. meninggalkan Wilayah Indonesia lebih dari 1 (satu) tahun atau tidak bermaksud masuk lagi ke Wilayah Indonesia;
b. tidak melakukan perpanjangan Izin Tinggal Tetap setelah 5 (lima) tahun;
c. memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia;
d. izinnya dibatalkan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk;
e. dikenai tindakan Deportasi; atau
f. meninggal dunia.
(2) Izin Tinggal Tetap dibatalkan karena pemegang Izin Tinggal Tetap:
a. terbukti melakukan tindak pidana terhadap negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara;
c. melanggar Pernyataan Integrasi;
d. mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin kerja;
e. memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan Izin Tinggal Tetap;
f. Orang Asing yang bersangkutan dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian; atau
g. putus hubungan
perkawinan Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan, kecuali
perkawinan yang telah berusia 10 (sepuluh) tahun atau lebih.
Pasal 63
(1) Orang Asing tertentu yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Penjamin yang menjamin keberadaannya.
(2) Penjamin
bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin
selama tinggal di Wilayah Indonesia serta berkewajiban melaporkan setiap
perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat.
(3) Penjamin wajib
membayar biaya yang timbul untuk memulangkan atau mengeluarkan Orang
Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia apabila Orang Asing yang
bersangkutan:
a. telah habis masa berlaku Izin Tinggalnya; dan/atau
b. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi.
(4) Ketentuan mengenai penjaminan tidak berlaku bagi Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia.
(5) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam
hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya
dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin
keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 64
(1) Izin Masuk Kembali diberikan kepada Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas atau Izin Tinggal Tetap.
(2) Pemegang Izin
Tinggal terbatas diberikan Izin Masuk Kembali yang masa berlakunya sama
dengan masa berlaku Izin Tinggal terbatas.
(3) Pemegang Izin
Tinggal Tetap diberikan Izin Masuk Kembali yang berlaku selama 2 (dua)
tahun sepanjang tidak melebihi masa berlaku Izin Tinggal Tetap.
(4) Izin Masuk Kembali berlaku untuk beberapa kali perjalanan.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan persyaratan permohonan, jangka waktu, pemberian,
perpanjangan, atau pembatalan Izin Tinggal, dan alih status Izin Tinggal
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGAWASAN KEIMIGRASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 66
(1) Menteri melakukan pengawasan Keimigrasian.
(2) Pengawasan Keimigrasian meliputi:
a. pengawasan terhadap
warga negara Indonesia yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau
masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di luar Wilayah Indonesia; dan
b. pengawasan terhadap
lalu lintas Orang Asing yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta
pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan Orang Asing di Wilayah
Indonesia.
Pasal 67
(1) Pengawasan
Keimigrasian terhadap warga Negara Indonesia dilaksanakan pada saat
permohonan Dokumen Perjalanan, keluar atau masuk, atau berada di luar
Wilayah Indonesia dilakukan dengan:
a. pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi;
b. penyusunan daftar nama warga negara Indonesia yang dikenai Pencegahan keluar Wilayah Indonesia;
c. pemantauan terhadap
setiap warga Negara Indonesia yang memohon Dokumen Perjalanan, keluar
atau masuk Wilayah Indonesia, dan yang berada di luar Wilayah Indonesia;
dan
d. pengambilan foto dan sidik jari.
(2) Hasil pengawasan
Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data
Keimigrasian yang dapat ditentukan sebagai data yang bersifat rahasia.
Pasal 68
(1) Pengawasan
Keimigrasian terhadap Orang Asing dilaksanakan pada saat permohonan
Visa, masuk atau keluar, dan pemberian Izin Tinggal dilakukan dengan:
a. pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi;
b. penyusunan daftar nama Orang Asing yang dikenai Penangkalan atau Pencegahan;
c. pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan Orang Asing di Wilayah Indonesia;
d. pengambilan foto dan sidik jari; dan
e. kegiatan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
(2) Hasil pengawasan
Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data
Keimigrasian yang dapat ditentukan sebagai data yang bersifat rahasia.
Pasal 69
(1) Untuk melakukan
pengawasan Keimigrasian terhadap kegiatan Orang Asing di Wilayah
Indonesia, Menteri membentuk tim pengawasan Orang Asing yang anggotanya
terdiri atas badan atau instansi pemerintah terkait, baik di pusat
maupun di daerah.
(2) Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk bertindak selaku ketua tim pengawasan Orang Asing.
Pasal 70
(1) Pejabat Imigrasi
atau yang ditunjuk dalam rangka pengawasan Keimigrasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 wajib melakukan:
a. pengumpulan data pelayanan Keimigrasian, baik warga negara Indonesia maupun warga Negara asing;
b. pengumpulan data
lalu lintas, baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia;
c. pengumpulan data
warga negara asing yang telah mendapatkan keputusan pendetensian, baik
di Ruang Detensi Imigrasi di Kantor Imigrasi maupun di Rumah Detensi
Imigrasi; dan
d. pengumpulan data warga negara asing yang dalam proses penindakan Keimigrasian.
(2) Pengumpulan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memasukkan data
pada Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian yang dibangun dan
dikembangkan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 71
Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib:
a. memberikan segala
keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya
serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan,
pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi
setempat; atau
b. memperlihatkan dan
menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya
apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka
pengawasan Keimigrasian.
Pasal 72
(1) Pejabat Imigrasi
yang bertugas dapat meminta keterangan dari setiap orang yang member
kesempatan menginap kepada Orang Asing mengenai data Orang Asing yang
bersangkutan.
(2) Pemilik atau
pengurus tempat penginapan wajib memberikan data mengenai Orang Asing
yang menginap di tempat penginapannya jika diminta oleh Pejabat Imigrasi
yang bertugas.
Pasal 73
Ketentuan mengenai
pengawasan terhadap Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tidak diberlakukan terhadap
Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia dalam rangka tugas
diplomatik.
Bagian Kedua
Intelijen Keimigrasian
Pasal 74
(1) Pejabat Imigrasi melakukan fungsi Intelijen Keimigrasian.
(2) Dalam rangka
melaksanakan fungsi Intelijen Keimigrasian, Pejabat Imigrasi melakukan
penyelidikan Keimigrasian dan pengamanan Keimigrasian serta berwenang:
a. mendapatkan keterangan dari masyarakat atau instansi pemerintah;
b. mendatangi tempat atau bangunan yang diduga dapat ditemukan bahan keterangan mengenai keberadaan dan kegiatan Orang Asing;
c. melakukan operasi Intelijen Keimigrasian; atau
d. melakukan pengamanan terhadap data dan informasi Keimigrasian serta pengamanan pelaksanaan tugas Keimigrasian.
BAB VII
TINDAKAN ADMINISTRATIF KEIMIGRASIAN
Pasal 75
(1) Pejabat Imigrasi
berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang
Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya
dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak
menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
(2) Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;
b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;
c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
e. pengenaan biaya beban; dan/atau
f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.
(3) Tindakan
Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dapat juga dilakukan
terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia karena berusaha
menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara
asalnya.
Pasal 76
Keputusan mengenai
Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara tertulis dan harus disertai
dengan alasan.
Pasal 77
(1) Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian dapat mengajukan keberatan kepada Menteri.
(2) Menteri dapat
mengabulkan atau menolak keberatan yang diajukan Orang Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Menteri.
(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.
(4) Pengajuan keberatan
yang diajukan oleh Orang Asing tidak menunda pelaksanaan Tindakan
Administratif Keimigrasian terhadap yang bersangkutan.
Pasal 78
(1) Orang Asing
pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih
berada dalam Wilayah Indonesia kurang dari 60 (enam puluh) hari dari
batas waktu Izin Tinggal dikenai biaya beban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(2) Orang Asing yang
tidak membayar biaya beban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan.
(3) Orang Asing
pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih
berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari
batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian
berupa Deportasi dan Penangkalan.
Pasal 79
Penanggung Jawab Alat Angkut yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dikenai biaya beban.
Pasal 80
Biaya beban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dan Pasal 79 merupakan salah satu
Penerimaan Negara Bukan Pajak di bidang Keimigrasian.
BAB VIII
RUMAH DETENSI IMIGRASI DAN RUANG DETENSI IMIGRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 81
(1) Rumah Detensi Imigrasi dapat dibentuk di ibu kota negara, provinsi, kabupaten, atau kota.
(2) Rumah Detensi Imigrasi dipimpin oleh seorang kepala.
Pasal 82
Ruang Detensi Imigrasi
berbentuk suatu ruangan tertentu dan merupakan bagian dari kantor
Direktorat Jenderal, Kantor Imigrasi, atau Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Detensi
Pasal 83
(1) Pejabat Imigrasi
berwenang menempatkan Orang Asing dalam Rumah Detensi Imigrasi atau
Ruang Detensi Imigrasi jika Orang Asing tersebut:
a. berada di Wilayah Indonesia tanpa memiliki Izin Tinggal yang sah atau memiliki Izin Tinggal yang tidak berlaku lagi;
b. berada di Wilayah Indonesia tanpa memiliki Dokumen Perjalanan yang sah;
c. dikenai Tindakan
Administratif Keimigrasian berupa pembatalan Izin Tinggal karena
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
d. menunggu pelaksanaan Deportasi; atau
e. menunggu keberangkatan keluar Wilayah Indonesia karena ditolak pemberian Tanda Masuk.
(2) Pejabat Imigrasi
dapat menempatkan Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
tempat lain apabila Orang Asing tersebut sakit, akan melahirkan, atau
masih anak-anak.
Pasal 84
(1) Pelaksanaan detensi Orang Asing dilakukan dengan keputusan tertulis dari Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. data orang asing yang dikenai detensi;
b. alasan melakukan detensi; dan
c. tempat detensi.
Bagian Ketiga
Jangka Waktu Detensi
Pasal 85
(1) Detensi terhadap Orang Asing dilakukan sampai Deteni dideportasi.
(2) Dalam hal Deportasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilaksanakan, detensi
dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk dapat mengeluarkan Deteni dari Rumah
Detensi Imigrasi apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terlampaui dan memberikan izin kepada Deteni untuk berada di luar Rumah
Detensi Imigrasi dengan menetapkan kewajiban melapor secara periodik.
(4) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk mengawasi dan mengupayakan agar Deteni
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dideportasi.
Bagian Keempat
Penanganan terhadap Korban Perdagangan Orang
dan Penyelundupan Manusia
Pasal 86
Ketentuan Tindakan Administratif Keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia.
Pasal 87
(1) Korban perdagangan
orang dan Penyelundupan Manusia yang berada di Wilayah Indonesia
ditempatkan di dalam Rumah Detensi Imigrasi atau di tempat lain yang
ditentukan.
(2) Korban perdagangan
orang dan Penyelundupan Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan Deteni pada umumnya.
Pasal 88
Menteri atau Pejabat
Imigrasi yang ditunjuk mengupayakan agar korban perdagangan orang dan
Penyelundupan Manusia yang berkewarganegaraan asing segera dikembalikan
ke negara asal mereka dan diberikan surat perjalanan apabila mereka
tidak memilikinya.
Pasal 89
(1) Menteri atau Pejabat
Imigrasi yang ditunjuk melakukan upaya preventif dan represif dalam
rangka mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan
Penyelundupan Manusia.
(2) Upaya preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pertukaran
informasi dengan negara lain dan instansi terkait di dalam negeri,
meliputi modus operandi, pengawasan dan pengamanan Dokumen Perjalanan,
serta legitimasi dan validitas dokumen;
b. kerja sama teknis
dan pelatihan dengan Negara lain meliputi perlakuan yang berdasarkan
peri kemanusiaan terhadap korban, pengamanan dan kualitas Dokumen
Perjalanan, deteksi dokumen palsu, pertukaran informasi, serta
pemantauan dan deteksi Penyelundupan Manusia dengan cara konvensional
dan nonkonvensional;
c. memberikan
penyuluhan hukum kepada masyarakat bahwa perbuatan perdagangan orang dan
Penyelundupan Manusia merupakan tindak pidana agar orang tidak menjadi
korban;
d. menjamin bahwa
Dokumen Perjalanan atau identitas yang dikeluarkan berkualitas sehingga
dokumen tersebut tidak mudah disalahgunakan, dipalsukan, diubah, ditiru,
atau diterbitkan secara melawan hukum; dan
e. memastikan bahwa
integritas dan pengamanan Dokumen Perjalanan yang dikeluarkan atau
diterbitkan oleh atau atas nama negara untuk mencegah pembuatan dokumen
tersebut secara melawan hukum dalam hal penerbitan dan penggunaannya.
(3) Upaya represif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penyidikan Keimigrasian terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia;
b. Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia; dan
c. kerja sama dalam bidang penyidikan dengan instansi penegak hukum lainnya.
Pasal 90
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan Keimigrasian, Intelijen Keimigrasian, Rumah Detensi
Imigrasi dan Ruang Detensi Imigrasi, serta penanganan terhadap korban
perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IX
PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN
Bagian Kesatu
Pencegahan
Pasal 91
(1) Menteri berwenang dan bertanggung jawab melakukan Pencegahan yang menyangkut bidang Keimigrasian.
(2) Menteri melaksanakan Pencegahan berdasarkan:
a. hasil pengawasan Keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif Keimigrasian;
b. Keputusan Menteri
Keuangan dan Jaksa Agung sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau
f. keputusan,
perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/lembaga lain yang
berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan Pencegahan.
(3) Menteri Keuangan,
Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kepala Badan Narkotika Nasional, atau pimpinan
kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan Pencegahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf f bertanggung jawab atas keputusan,
permintaan, dan perintah Pencegahan yang dibuatnya.
Pasal 92
Dalam keadaan yang
mendesak pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dapat
meminta secara langsung kepada Pejabat Imigrasi tertentu untuk melakukan
Pencegahan.
Pasal 93
Pelaksanaan atas
keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dilakukan oleh
Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
Pasal 94
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh pejabat yang berwenang.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan;
b. alasan Pencegahan; dan
c. jangka waktu Pencegahan.
(3) Keputusan
Pencegahan disampaikan kepada orang yang dikenai Pencegahan paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal keputusan ditetapkan.
(4) Dalam hal keputusan
Pencegahan dikeluarkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
ayat (2), keputusan tersebut juga disampaikan kepada Menteri paling
lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal keputusan ditetapkan dengan
permintaan untuk dilaksanakan.
(5) Menteri dapat
menolak permintaan pelaksanaan Pencegahan apabila keputusan Pencegahan
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Pemberitahuan
penolakan pelaksanaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
harus disampaikan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
ayat (2) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan
Pencegahan diterima disertai dengan alasan penolakan.
(7) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk memasukkan identitas orang yang dikenai
keputusan Pencegahan ke dalam daftar Pencegahan melalui Sistem Informasi
Manajemen Keimigrasian.
Pasal 95
Berdasarkan daftar
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (7), Pejabat
Imigrasi wajib menolak orang yang dikenai Pencegahan keluar Wilayah
Indonesia.
Pasal 96
(1) Setiap orang yang dikenai Pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan Pencegahan.
(2) Pengajuan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis disertai
dengan alasan dan disampaikan dalam jangka waktu berlakunya masa
Pencegahan.
(3) Pengajuan keberatan tidak menunda pelaksanaan Pencegahan.
Pasal 97
(1) Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Dalam hal tidak ada keputusan perpanjangan masa Pencegahan, Pencegahan berakhir demi hukum.
(3) Dalam hal terdapat
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas
atas perkara yang menjadi alasan Pencegahan, Pencegahan berakhir demi
hukum.
Bagian Kedua
Penangkalan
Pasal 98
(1) Menteri berwenang melakukan Penangkalan.
(2) Pejabat yang berwenang dapat meminta kepada Menteri untuk melakukan Penangkalan.
Pasal 99
Pelaksanaan Penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk.
Pasal 100
(1) Penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ditetapkan dengan keputusan tertulis.
(2) Keputusan
Penangkalan atas permintaan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) dikeluarkan oleh Menteri paling lambat 3 (tiga) hari sejak
tanggal permintaan Penangkalan tersebut diajukan.
(3) Permintaan Penangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat sekurang-kurangnya:
a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Penangkalan;
b. alasan Penangkalan; dan
c. jangka waktu Penangkalan.
(4) Menteri dapat
menolak permintaan Penangkalan apabila permintaan Penangkalan tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pemberitahuan
penolakan permintaan Penangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus disampaikan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal permintaan
Penangkalan diterima disertai alasan penolakan.
(6) Menteri atau
Pejabat Imigrasi yang ditunjuk memasukkan identitas orang yang dikenai
keputusan Penangkalan ke dalam daftar Penangkalan melalui Sistem
Informasi Manajemen Keimigrasian.
Pasal 101
Berdasarkan daftar
Penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (6), Pejabat
Imigrasi wajib menolak Orang Asing yang dikenai Penangkalan masuk
Wilayah Indonesia.
Pasal 102
(1) Jangka waktu Penangkalan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Dalam hal tidak ada keputusan perpanjangan masa Penangkalan, Penangkalan berakhir demi hukum.
(3) Keputusan
Penangkalan seumur hidup dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang
dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Pasal 103
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 104
Penyidikan tindak pidana Keimigrasian dilakukan berdasarkan hukum acara pidana.
Pasal 105
PPNS Keimigrasian diberi
wewenang sebagai penyidik tindak pidana Keimigrasian yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 106
PPNS Keimigrasian berwenang:
a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana Keimigrasian;
b. mencari keterangan dan alat bukti;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
d. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
e. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana Keimigrasian;
f. menahan, memeriksa, dan menyita Dokumen Perjalanan;
g. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau tersangka dan memeriksa identitas dirinya;
h. memeriksa atau menyita surat, dokumen, atau benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana Keimigrasian;
i. memanggil seseorang untuk diperiksa dan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi;
j. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
k. melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat surat, dokumen, atau
benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana Keimigrasian;
l. mengambil foto dan sidik jari tersangka;
m. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber yang berkompeten;
n. melakukan penghentian penyidikan; dan/atau
o. mengadakan tindakan lain menurut hukum.
Pasal 107
(1) Dalam melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Setelah selesai melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Pasal 108
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hokum acara pidana;
b. alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau disimpan
secara elektronik atau yang serupa dengan itu; dan
c. keterangan tertulis dari Pejabat Imigrasi yang berwenang.
Pasal 109
Terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123,
Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal
133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat dikenai penahanan.
Pasal 110
(1) Terhadap tindak
pidana keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan Pasal 117
diberlakukan acara pemeriksaan singkat sebagaimana dimaksud dalam hukum
acara pidana.
(2) PPNS Keimigrasian
menyerahkan tersangka dan alat bukti kepada penuntut umum dengan
disertai catatan mengenai tindak pidana Keimigrasian yang disangkakan
kepada tersangka.
Pasal 111
PPNS Keimigrasian dapat
melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
Keimigrasian dengan lembaga penegak hukum dalam negeri dan Negara lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan atau berdasarkan
perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
Pasal 112
Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan PPNS Keimigrasian, dan
administrasi penyidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 113
Setiap orang yang dengan
sengaja masuk atau keluar Wilayah Indonesia yang tidak melalui
pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 114
(1) Penanggung Jawab
Alat Angkut yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia dengan alat
angkutnya yang tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Penanggung Jawab
Alat Angkut yang sengaja menurunkan atau menaikkan penumpang yang tidak
melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi atau petugas pemeriksa pendaratan
di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 115
Setiap Penanggung Jawab
Alat Angkut yang tidak membayar biaya beban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (4) dan Pasal 79 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 116
Setiap Orang Asing yang
tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana
denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 117
Pemilik atau pengurus
tempat penginapan yang tidak memberikan keterangan atau tidak memberikan
data Orang Asing yang menginap di rumah atau di tempat penginapannya
setelah diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah).
Pasal 118
Setiap Penjamin yang
dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar atau tidak memenuhi
jaminan yang diberikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 119
(1) Setiap Orang Asing
yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki
Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(2) Setiap Orang Asing
yang dengan sengaja menggunakan Dokumen Perjalanan, tetapi diketahui
atau patut diduga bahwa Dokumen Perjalanan itu palsu atau dipalsukan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 120
(1) Setiap orang yang
melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain
dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi
maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa
seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak
terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah
Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah
negara lain, yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki
wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun
dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui
pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dipidana karena Penyelundupan Manusia
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Percobaan untuk
melakukan tindak pidana Penyelundupan Manusia dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 121
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang
dengan sengaja membuat palsu atau memalsukan Visa atau Tanda Masuk atau
Izin Tinggal dengan maksud untuk digunakan bagi dirinya sendiri atau
orang lain untuk masuk atau keluar atau berada di Wilayah Indonesia;
b. setiap Orang Asing
yang dengan sengaja menggunakan Visa atau Tanda Masuk atau Izin Tinggal
palsu atau yang dipalsukan untuk masuk atau keluar atau berada di
Wilayah Indonesia.
Pasal 122
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap Orang Asing
yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan
kepadanya;
b. setiap orang yang
menyuruh atau memberikan kesempatan kepada Orang Asing menyalahgunakan
atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud atau tujuan
pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.
Pasal 123
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang
dengan sengaja memberikan surat atau data palsu atau yang dipalsukan
atau keterangan tidak benar dengan maksud untuk memperoleh Visa atau
Izin Tinggal bagi dirinya sendiri atau orang lain;
b. setiap Orang Asing
yang dengan sengaja menggunakan Visa atau Izin Tinggal sebagaimana
dimaksud dalam huruf a untuk masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia.
Pasal 124
Setiap orang yang dengan
sengaja menyembunyikan atau melindungi atau memberi pemondokan atau
memberikan penghidupan atau memberikan pekerjaan kepada Orang Asing yang
diketahui atau patut diduga:
a. berada di Wilayah
Indonesia secara tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah);
b. Izin Tinggalnya
habis berlaku dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau pidana denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
Pasal 125
Setiap Orang Asing yang
tanpa izin berada di daerah tertentu yang telah dinyatakan terlarang
bagi Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 126
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menggunakan Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia untuk masuk atau keluar Wilayah
Indonesia, tetapi diketahui atau patut diduga bahwa Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia itu palsu atau dipalsukan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
b. menggunakan Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia orang lain atau yang sudah dicabut atau
yang dinyatakan batal untuk masuk atau keluar Wilayah Indonesia atau
menyerahkan kepada orang lain Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang
diberikan kepadanya atau milik orang lain dengan maksud digunakan
secara tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
c. memberikan data
yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. memiliki atau
menggunakan secara melawan hokum 2 (dua) atau lebih Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia yang sejenis dan semuanya masih berlaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
e. memalsukan Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia atau membuat Dokumen Perjalanan Republik
Indonesia palsu dengan maksud untuk digunakan bagi dirinya sendiri atau
orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 127
Setiap orang yang dengan
sengaja dan melawan hokum menyimpan Dokumen Perjalanan Republik
Indonesia palsu atau dipalsukan dengan maksud untuk digunakan bagi
dirinya sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 128
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang
dengan sengaja dan melawan hukum mencetak, mempunyai, menyimpan, atau
memperdagangkan blanko Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau blanko
Dokumen Keimigrasian lainnya;
b. setiap orang yang
dengan sengaja dan melawan hukum membuat, mempunyai, menyimpan, atau
memperdagangkan cap atau alat lain yang digunakan untuk mengesahkan
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau Dokumen Keimigrasian lainnya.
Pasal 129
Setiap orang yang dengan
sengaja dan melawan hokum untuk kepentingan diri sendiri atau orang
lain merusak, mengubah, menambah, mengurangi, atau menghilangkan, baik
sebagian maupun seluruhnya, keterangan atau cap yang terdapat dalam
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau Dokumen Keimigrasian lainnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 130
Setiap orang yang dengan
sengaja dan melawan hokum menguasai Dokumen Perjalanan atau Dokumen
Keimigrasian lainnya milik orang lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 131
Setiap orang yang dengan
sengaja tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, merusak,
menghilangkan, mengubah, menggandakan, menggunakan dan atau mengakses
data Keimigrasian, baik secara manual maupun elektronik, untuk
kepentingan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 132
Pejabat Imigrasi atau
pejabat lain yang ditunjuk yang dengan sengaja dan melawan hukum
memberikan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dan/atau memberikan
atau memperpanjang Dokumen Keimigrasian kepada seseorang yang
diketahuinya tidak berhak dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun.
Pasal 133
Pejabat Imigrasi atau pejabat lain:
a. membiarkan
seseorang melakukan tindak pidana Keimigrasian sebagaimana dimaksud
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal
126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133
huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 yang patut diketahui olehnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
b. dengan sengaja
membocorkan data Keimigrasian yang bersifat rahasia kepada pihak yang
tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dan Pasal 68
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun;
c. dengan sengaja
tidak menjalankan prosedur operasi standar yang berlaku dalam proses
pemeriksaan pemberangkatan atau kedatangan di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi yang mengakibatkan masuknya Orang Asing ke Wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau keluarnya orang dari
Wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
d. dengan sengaja dan
melawan hukum tidak menjalankan prosedur operasi standar penjagaan
Deteni di Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi yang
mengakibatkan Deteni melarikan diri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun;
e. dengan sengaja dan
melawan hukum tidak memasukkan data ke dalam Sistem Informasi Manajemen
Keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 134
Setiap Deteni yang dengan sengaja:
a. membuat, memiliki,
menggunakan, dan/atau mendistribusikan senjata dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun;
b. melarikan diri dari
Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 135
Setiap orang yang
melakukan perkawinan semu dengan tujuan untuk memperoleh Dokumen
Keimigrasian dan/atau untuk memperoleh status kewarganegaraan Republik
Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 136
(1) Dalam hal tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
118, Pasal 120, Pasal 124, Pasal 128, dan Pasal 129 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan kepada pengurus dan korporasinya.
(2) Penjatuhan pidana
terhadap Korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan besarnya pidana
denda tersebut 3 (tiga) kali lipat dari setiap pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 119, Pasal 121 huruf b,
Pasal 123 huruf b, dan Pasal 126 huruf a dan huruf b tidak diberlakukan
terhadap korban perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia.
BAB XII
BIAYA
Pasal 137
Dana untuk melaksanakan Undang-Undang ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 138
(1) Permohonan Dokumen
Perjalanan, Visa, Izin Tinggal, Izin Masuk Kembali dan biaya beban
berdasarkan Undang-Undang ini dikenai biaya imigrasi.
(2) Biaya imigrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu Penerimaan
Negara Bukan Pajak di bidang Keimigrasian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 139
(1) Ketentuan
Keimigrasian bagi lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah
Indonesia di daerah perbatasan diatur tersendiri dengan perjanjian
lintas batas antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara
tetangga yang memiliki perbatasan yang sama dengan memperhatikan
ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan
Keimigrasian bagi lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah
Indonesia dengan menggunakan tanda masuk atau tanda keluar dengan alat
elektronik dapat diatur tersendiri melalui perjanjian bilateral atau
multilateral dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 140
(1) Untuk menjadi Pejabat Imigrasi, diselenggarakan pendidikan khusus Keimigrasian.
(2) Untuk mengikuti pendidikan khusus Keimigrasian, peserta harus telah lulus jenjang pendidikan sarjana.
(3) Penyelenggaraan pendidikan khusus Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 141
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Izin Tinggal
kunjungan, Izin Tinggal terbatas, dan Izin Tinggal Tetap yang
dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir;
b. suami atau istri
dari perkawinan yang sah dengan warga negara Indonesia yang usia
perkawinannya lebih dari 2 (dua) tahun dan memegang Izin Tinggal
terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian dapat langsung diberikan Izin Tinggal Tetap menurut
ketentuan Undang-Undang ini;
c. Dokumen Perjalanan
Republik Indonesia yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai
jangka waktunya berakhir; dan
d. perkara tindak
pidana di bidang Keimigrasian yang sedang diproses dalam tahap
penyidikan tetap diproses berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 142
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3474);
b. Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5064); dan
c. semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Keimigrasian yang bertentangan
atau tidak sesuai dengan Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 143
Pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3474) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 144
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 145
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 52
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Ttd,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG
KEIMIGRASIAN
I. UMUM
Dalam memasuki milenium
ketiga, yang ditandai dengan bergulirnya globalisasi di seluruh sektor
kehidupan masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang
informasi dan komunikasi yang menembus batas wilayah kenegaraan, aspek
hubungan kemanusiaan yang selama ini bersifat nasional berkembang
menjadi bersifat internasional, bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat kesetaraan dalam aspek
kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal.
Bersamaan dengan
perkembangan di dunia internasional, telah terjadi perubahan di dalam
negeri yang telah mengubah paradigm dalam berbagai aspek ketatanegaraan
seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang. Perubahan itu
telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap terwujudnya persamaan
hak dan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia sebagai bagian dari
hak asasi manusia. Dengan adanya perkembangan tersebut, setiap warga
negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama dalam menggunakan
haknya untuk keluar atau masuk Wilayah Indonesia.
Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang ini, ketentuan mengenai Penangkalan tidak berlaku terhadap warga Negara Indonesia.
Dampak era globalisasi
telah memengaruhi system perekonomian negara Republik Indonesia dan
untuk mengantisipasinya diperlukan perubahan peraturan
perundang-undangan, baik di bidang ekonomi, industri, perdagangan,
transportasi. transportasi, ketenagakerjaan, maupun peraturan di bidang
lalu lintas orang dan barang. Perubahan tersebut diperlukan untuk
meningkatkan intensitas hubungan negara Republik Indonesia dengan dunia
internasional yang mempunyai dampak sangat besar terhadap pelaksanaan
fungsi dan tugas Keimigrasian. Penyederhanaan prosedur Keimigrasian bagi
para investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia perlu
dilakukan, antara lain kemudahan pemberian Izin Tinggal Tetap bagi para
penanam modal yang telah memenuhi syarat tertentu. Dengan demikian,
diharapkan akan tercipta iklim investasi yang menyenangkan dan hal itu
akan lebih menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
Di dalam pergaulan
internasional telah berkembang hokum baru yang diwujudkan dalam bentuk
konvensi internasional, Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
negara peserta yang telah menandatangani konvensi tersebut, antara lain
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan Kejahatan Transnasional yang
Terorganisasi, 2000, atau United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000, yang
telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 beserta dua
protokolnya yang menyebabkan peranan instansi Keimigrasian menjadi
semakin penting karena konvensi tersebut telah mewajibkan negara peserta
untuk mengadopsi dan melaksanakan konvensi tersebut.
Di pihak lain,
pengawasan terhadap Orang Asing perlu lebih ditingkatkan sejalan dengan
meningkatnya kejahatan internasional atau tindak pidana transnasional,
seperti perdagangan orang, Penyelundupan Manusia, dan tindak pidana
narkotika yang banyak dilakukan oleh sindikat kejahatan internasional
yang terorganisasi. Para pelaku kejahatan tersebut ternyata tidak dapat
dipidana berdasarkan Undang-Undang Keimigrasian yang lama karena
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tidak mengatur ancaman pidana bagi
orang yang mengorganisasi kejahatan internasional. Mereka yang dapat
dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 adalah mereka yang
diorganisasi sebagai korban untuk masuk Wilayah Indonesia secara tidak
sah.
Pengawasan terhadap
Orang Asing tidak hanya dilakukan pada saat mereka masuk, tetapi juga
selama mereka berada di Wilayah Indonesia, termasuk kegiatannya.
Pengawasan Keimigrasian mencakup penegakan hukum Keimigrasian, baik yang
bersifat administratif maupun tindak pidana Keimigrasian. Oleh karena
itu, perlu pula diatur PPNS Keimigrasian yang menjalankan tugas dan
wewenang secara khusus berdasarkan Undang-Undang ini. Tindak pidana
Keimigrasian merupakan tindak pidana khusus sehingga hukum formal dan
hukum materiilnya berbeda dengan hukum pidana umum, misalnya adanya
pidana minimum khusus.
Aspek pelayanan dan
pengawasan tidak pula terlepas dari geografis Wilayah Indonesia yang
terdiri atas pulau-pulau yang mempunyai jarak yang dekat, bahkan
berbatasan langsung dengan negara tetangga, yang pelaksanaan Fungsi
Keimigrasian di sepanjang garis perbatasan merupakan kewenangan instansi
imigrasi. Pada tempat tertentu sepanjang garis perbatasan terdapat lalu
lintas tradisional masuk dan keluar warga negara Indonesia dan warga
negara tetangga. Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan memudahkan
pengawasan dapat diatur perjanjian lintas batas dan diupayakan perluasan
Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Dengan demikian, dapat dihindari orang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia di luar Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
Kepentingan nasional
adalah kepentingan seluruh rakyat Indonesia sehingga pengawasan terhadap
Orang Asing memerlukan juga partisipasi masyarakat untuk melaporkan
Orang Asing yang diketahui atau diduga berada di Wilayah Indonesia
secara tidak sah atau menyalahgunakan perizinan di bidang Keimigrasian.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, perlu dilakukan usaha untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
Berdasarkan kebijakan selektif (selective policy) yang
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, diatur masuknya Orang Asing
ke dalam Wilayah Indonesia, demikian pula bagi Orang Asing yang
memperoleh Izin Tinggal di Wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud
dan tujuannya berada di Indonesia. Berdasarkan kebijakan dimaksud serta
dalam rangka melindungi kepentingan nasional, hanya Orang Asing yang
memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum
diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah Indonesia.
Terhadap warga negara
Indonesia berlaku prinsip bahwa setiap warga negara Indonesia berhak
untuk keluar atau masuk Wilayah Indonesia. Namun, berdasarkan alasan
tertentu dan untuk jangka waktu tertentu warga negara Indonesia dapat
dicegah keluar dari Wilayah Indonesia.
Warga negara Indonesia
tidak dapat dikenai tindakan Penangkalan karena hal itu tidak sesuai
dengan prinsip dan kebiasaan internasional, yang menyatakan bahwa
seorang warga negara tidak boleh dilarang masuk ke negaranya sendiri.
Di samping permasalahan
di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk
memperbarui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian,
yakni:
a. letak geografis
Wilayah Indonesia dengan kompleksitas permasalahan lalu lintas
antarnegara terkait erat dengan aspek kedaulatan negara dalam hubungan
dengan negara lain;
b. adanya perjanjian
internasional atau konvensi internasional yang berdampak langsung atau
tidak langsung terhadap pelaksanaan Fungsi Keimigrasian;
c. meningkatnya
kejahatan internasional dan transnasional, seperti imigran gelap,
Penyelundupan Manusia, perdagangan orang, terorisme, narkotika, dan
pencucian uang;
d. pengaturan mengenai Deteni dan batas waktu terdeteni belum dilakukan secara komprehensif;
e. Fungsi Keimigrasian
yang spesifik dan bersifat universal dalam pelaksanaannya memerlukan
pendekatan sistematis dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi yang modern, dan memerlukan penempatan struktur Kantor
Imigrasi dan Rumah Detensi Imigrasi sebagai unit pelaksana teknis berada
di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi;
f. perubahan sistem
kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia berkaitan dengan
pelaksanaan Fungsi Keimigrasian, antara lain mengenai berkewarganegaraan
ganda terbatas;
g. hak kedaulatan negara dalam penerapan prinsip timbal balik (resiprositas) mengenai pemberian Visa terhadap Orang Asing;
h. kesepakatan dalam
rangka harmonisasi dan standardisasi system dan jenis pengamanan surat
perjalanan secara internasional, khususnya Regional Asean Plus dan
juga upaya penyelarasan atau harmonisasi tindakan atau ancaman pidana
terhadap para pelaku sindikat yang mengorganisasi perdagangan orang dan
Penyelundupan Manusia;
i. penegakan hukum
Keimigrasian belum efektif sehingga kebijakan pemidanaan perlu
mencantumkan pidana minimum terhadap tindak pidana Penyelundupan
Manusia;
j. memperluas subjek
pelaku tindak pidana Keimigrasian, sehingga mencakup tidak hanya orang
perseorangan tetapi juga Korporasi serta Penjamin masuknya Orang Asing
ke Wilayah Indonesia yang melanggar ketentuan Keimigrasian; dan
k. penerapan sanksi
pidana yang lebih berat terhadap Orang Asing yang melanggar peraturan di
bidang Keimigrasian karena selama ini belum menimbulkan efek jera.
Dengan adanya pertimbangan tersebut di atas, perlu dilaksanakan
pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 dengan membentuk
undang-undang baru yang lebih komprehensif, guna menyesuaikan dengan
perkembangan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia, kebijakan atau
peraturan perundang-undangan terkait, serta bersifat antisipatif
terhadap permasalahan di masa depan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Keimigrasian
dalam ketentuan ini adalah sebagian dari tugas penyelenggaraan negara di
bidang pelayanan dan pelindungan masyarakat, penegakan hukum
Keimigrasian, serta fasilitator penunjang pembangunan ekonomi nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Fungsi Keimigrasian di
sepanjang garis perbatasan sesuai dengan tugasnya sebagai penjaga pintu
gerbang negara, bukan penjaga garis batas negara.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Dalam hal belum ada
Pejabat Imigrasi pada Perwakilan Republik Indonesia atau tempat lain di
luar negeri, tugas dan Fungsi Keimigrasian dilaksanakan oleh pejabat
dinas luar negeri setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan. Pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk dalam
ketentuan ini adalah pejabat fungsional diplomat. Pejabat dinas luar
negeri yang melaksanakan tugas dan Fungsi Keimigrasian terlebih dahulu
memperoleh pengetahuan di bidang Keimigrasian.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Sistem Informasi
Manajemen Keimigrasian merupakan satu kesatuan dari berbagai proses
pengelolaan data dan informasi, aplikasi, serta perangkat berbasis
teknologi informasi dan komunikasi yang dibangun untuk menyatukan dan
menghubungkan sistem informasi pada seluruh pelaksana Fungsi
Keimigrasian secara terpadu.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku” adalah dokumen
perjalanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan masih
berlaku sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan sebelum masa berlakunya
berakhir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain pemeriksaan
terhadap Dokumen Perjalanan, apabila diperlukan guna keakuratan,
ketelitian serta ketepatan objek pemeriksaan dapat dilakukan terhadap
identitas diri untuk memberikan data dukung terhadap kebenaran Dokumen
Perjalanan yang dimiliki.
Ayat (3)
Penggeledahan dilakukan
dalam rangka mencari kejelasan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan
identitas diri orang yang bersangkutan. Apabila dari hasil penggeledahan
tersebut ditemukan adanya indikasi tindak pidana Keimigrasian,
prosesnya dapat dilanjutkan dengan melakukan penyelidikan Keimigrasian.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“keadaan darurat” meliputi adanya alat angkut yang mendarat di Wilayah
Indonesia dalam rangka bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance) pada daerah bencana alam di Wilayah Indonesia (national disaster) atau
dalam hal terdapat alat angkut yang membawa Orang Asing berlabuh atau
mendarat di suatu tempat di Indonesia karena kerusakan mesin atau cuaca
buruk, sedangkan alat angkut tersebut tidak bermaksud untuk berlabuh
atau mendarat di Wilayah Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud “daerah
tertentu” adalah daerah konflik yang akan membahayakan keberadaan dan
keamanan Orang Asing yang bersangkutan.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“kejahatan internasional dan kejahatan transnasional yang terorganisasi”
antara lain kejahatan terorisme, Penyelundupan Manusia, perdagangan
orang, pencucian uang, narkotika, dan psikotropika.
Berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Huruf h
Berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Huruf i
Berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Huruf j
Berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“ditempatkan dalam pengawasan” adalah penempatan Orang Asing di Rumah
Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi atau ruang khusus dalam
rangka menunggu keberangkatannya keluar Wilayah Indonesia. Dalam hal
Orang Asing datang dengan kapal laut, yang bersangkutan ditempatkan di
kapal laut tersebut dan dilarang turun ke darat sepanjang kapalnya
berada di Wilayah Indonesia hingga meninggalkan Wilayah Indonesia.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional atau menghindari
kerugian masyarakat, misalnya orang asing yang bersangkutan belum atau
tidak mau menyelesaikan kewajiban pajaknya.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“memberikan tanda atau mengibarkan bendera isyarat” adalah antara lain
mengibarkan bendera “N” yang biasa digunakan dalam kebiasaan
internasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “setiap penumpang dan/atau awak alat angkut” antara
lain penumpang yang tidak mendapat Tanda Masuk, awak kapal, atau
penumpang yang tertinggal.
Ayat (2)
Sistem Informasi Pemrosesan Pendahuluan Data Penumpang lazim juga disebut dengan Advance Passenger Information System.
Terhadap alat angkut yang belum menggunakan Sistem Informasi Pemrosesan
Pendahuluan Data Penumpang, diberikan kesempatan sampai dengan batas
waktu tertentu.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan
“suatu tempat” adalah pelabuhan, Bandar udara, pos lintas batas atau
tempat lainnya yang layak untuk dapat dilakukan pemeriksaan
Keimigrasian.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“area imigrasi” adalah suatu area di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, yang
dimulai dari tempat antrean pemeriksaan Keimigrasian pada keberangkatan
sampai dengan alat angkut atau dari alat angkut sampai dengan konter
pemeriksaan Keimigrasian pada kedatangan.
Penetapan area imigrasi
sangat penting artinya untuk menentukan status seseorang apakah telah
dianggap keluar atau telah masuk Wilayah Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepala Kantor Imigrasi
dalam ketentuan ini membawahi Tempat Pemeriksaan Imigrasi pada bandar
udara, pelabuhan laut, atau pos lintas batas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dilaksanakan berdasarkan asas resiprositas apabila diberikan kepada orang asing dalam rangka tugas diplomatik.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“dokumen negara” adalah dokumen yang setiap saat dapat ditarik kembali
apabila diperlukan untuk kepentingan negara. Dokumen itu bukanlah surat
berharga sehingga Dokumen Perjalanan Republik Indonesia tidak dapat
digunakan untuk hal yang bersifat perdata, antara lain dijadikan jaminan
utang.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” antara lain pemulangan warga negara Indonesia dari negara lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Surat Perjalanan Laksana
Paspor dapat dikeluarkan secara kolektif antara lain kepada beberapa
warga negara Indonesia bermasalah di luar negeri yang dipulangkan oleh
pemerintah negara asing secara bersama-sama.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
“melakukan tindak pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan di
Indonesia” adalah setiap orang warga negara Indonesia yang disangka
melakukan perbuatan yang merugikan negara dan/atau pelanggaran
perundang-undangan yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang
masih berada di Wilayah Indonesia atau telah berada di luar Wilayah
Indonesia. Penarikan Paspor biasa terhadap tersangka yang telah berada
di luar negeri harus disertai dengan pemberian Surat Perjalanan Laksana
Paspor Republik Indonesia yang akan digunakan dalam rangka mengembalikan
pelakunya ke Indonesia.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Visa diplomatik
diberikan kepada Orang Asing termasuk anggota keluarganya berdasarkan
perjanjian internasional, prinsip resiprositas, dan penghormatan (courtesy).
Pasal 36
Visa dinas diberikan
kepada Orang Asing termasuk anggota keluarganya berdasarkan perjanjian
internasional, prinsip resiprositas, dan penghormatan (courtesy) dalam rangka tugas resmi yang tidak bersifat diplomatik.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Visa kunjungan dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:
1. wisata;
2. keluarga;
3. sosial;
4. seni dan budaya;
5. tugas pemerintahan;
6. olahraga yang tidak bersifat komersial;
7. studi banding, kursus singkat, dan pelatihan singkat;
8. memberikan
bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan dalam penerapan dan inovasi
teknologi industri untuk meningkatkan mutu dan desain produk industri
serta kerja sama pemasaran luar negeri bagi Indonesia;
9. melakukan pekerjaan darurat dan mendesak;
10. jurnalistik yang telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
11. pembuatan film yang tidak bersifat komersial dan telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
12. melakukan pembicaraan bisnis;
13. melakukan pembelian barang;
14. memberikan ceramah atau mengikuti seminar;
15. mengikuti pameran internasional;
16. mengikuti rapat yang diadakan dengan kantor pusat atau perwakilan di Indonesia;
17. melakukan audit, kendali mutu produksi, atau inspeksi pada cabang perusahaan di Indonesia;
18. calon tenaga kerja asing dalam uji coba kemampuan dalam bekerja;
19. meneruskan perjalanan ke negara lain; dan
20. bergabung dengan alat angkut yang berada di Wilayah Indonesia.
Pasal 39
Visa tinggal terbatas
diberikan kepada Orang Asing yang bermaksud bertempat tinggal dalam
jangka waktu yang terbatas dan dapat juga diberikan kepada Orang Asing
eks warga Negara Indonesia yang telah kehilangan kewarganegaraan
Indonesia berdasarkan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia dan bermaksud untuk kembali ke Indonesia dalam rangka
memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Visa tinggal terbatas dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:
1. Dalam rangka bekerja:
a. sebagai tenaga ahli;
b. bergabung untuk
bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di
wilayah perairan Nusantara, laut territorial, atau landas kontinen,
serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
c. melaksanakan tugas sebagai rohaniwan;
d. melakukan kegiatan
yang berkaitan dengan profesi dengan menerima bayaran, seperti olahraga,
artis, hiburan, pengobatan, konsultan, pengacara, perdagangan, dan
kegiatan profesi lain yang telah memperoleh izin dari instansi
berwenang;
e. melakukan kegiatan
dalam rangka pembuatan film yang bersifat komersial dan telah mendapat
izin dari instansi yang berwenang;
f. melakukan pengawasan kualitas barang atau produksi (quality control);
g. melakukan inspeksi atau audit pada cabang perusahaan di Indonesia;
h. melayani purnajual;
i. memasang dan reparasi mesin;
j. melakukan pekerjaan nonpermanen dalam rangka konstruksi;
k. mengadakan pertunjukan;
l. mengadakan kegiatan olahraga profesional;
m. melakukan kegiatan pengobatan; dan
n. calon tenaga kerja asing yang akan bekerja dalam rangka uji coba keahlian.
2. Tidak untuk bekerja:
a. penanam modal asing;
b. mengikuti pelatihan dan penelitian ilmiah;
c. mengikuti pendidikan;
d. penyatuan keluarga;
e. repatriasi; dan
f. lanjut usia.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Orang Asing dari negara
tertentu yang dapat diberikan Visa kunjungan saat kedatangan antara lain
Orang Asing dari negara yang termasuk dalam kategori negara yang
tingkat kunjungan wisata ke Indonesia tinggi (tourist generating countries) atau
dari negara yang mempunyai hubungan diplomatik yang cukup baik dengan
negara Indonesia, tetapi negara tersebut tidak memberikan fasilitas
bebas Visa kepada warga negara Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Penolakan dimaksud berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Huruf g
Penolakan dimaksud berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Huruf h
Penolakan dimaksud berdasarkan surat permintaan dari instansi yang berwenang.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud
“pembebasan Visa” dalam ketentuan ini misalnya untuk kepentingan
pariwisata yang membawa manfaat bagi perkembangan pembangunan nasional
dengan memperhatikan asas timbal balik, yaitu pembebasan Visa hanya
diberikan kepada Orang Asing dari negara yang juga memberikan pembebasan
Visa kepada warga negara Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“bertempat tinggal di Wilayah Indonesia” adalah dalam rangka tugas
penempatan di perwakilan negara setempat atau perwakilan organisasi
internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pada dasarnya setiap
Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa.
Berdasarkan Visa tersebut, Orang Asing diberikan Izin Tinggal di Wilayah
Indonesia, tetapi ketentuan itu tidak diberlakukan terhadap Orang Asing
yang berada di Wilayah Indonesia karena menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“daerah tertentu” adalah daerah konflik yang akan membahayakan
keberadaan, keselamatan, dan keamananan Orang Asing yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “wilayah perairan” adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
Yang dimaksud dengan
“wilayah yurisdiksi” adalah wilayah di luar wilayah perairan yang
terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan,
negara memiliki hak berdaulat dan kewenangan tertentu sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan hokum
internasional.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“anak” adalah anak dari duda/janda Orang Asing yang kawin dengan warga
negara Indonesia atau anak angkatnya.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rohaniwan” adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah suami/istri, dan anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“alih status” adalah perubahan status keberadaan Orang Asing dari Izin
Tinggal kunjungan menjadi Izin Tinggal terbatas dan dari Izin Tinggal
terbatas menjadi Izin Tinggal Tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan
“meragukan status Izin Tinggal dan kewarganegaraan seseorang” antara
lain adanya data Keimigrasian yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan
diragukan status kewarganegaraannya.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah suami/istri, dan anak.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Orang Asing tertentu” adalah Orang Asing yang memegang Izin Tinggal terbatas atau Izin Tinggal Tetap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
”perubahan status sipil” antara lain kelahiran, perkawinan, perceraian,
kematian, dan perubahan lain, misalnya perubahan jenis kelamin.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan mengenai
penjaminan tidak diberlakukan karena pada dasarnya suami atau istri
dalam suatu perkawinan bertanggung jawab kepada pasangannya dan/atau
anaknya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan Keimigrasian meliputi pengawasan, baik terhadap warga negara Indonesia maupun Orang Asing.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“badan atau instansi pemerintah terkait” misalnya Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, serta
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perubahan status sipil” antara lain kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian.
Jika telah dilaksanakan oleh penjaminnya tidak perlu lagi dilaksanakan oleh Orang Asing yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Permintaan keterangan mengenai data dapat dilakukan, baik secara manual maupun elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
”penyelidikan Keimigrasian” adalah kegiatan atau tindakan Pejabat
Imigrasi untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana Keimigrasian.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
”operasi Intelijen Keimigrasian” adalah kegiatan yang dilakukan
berdasarkan suatu rencana untuk mencapai tujuan khusus serta ditetapkan
dan dilaksanakan atas perintah Pejabat Imigrasi yang berwenang.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Larangan tersebut
ditujukan terhadap Orang Asing yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh
pemerintah berada di Wilayah Indonesia tertentu.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“bertempat tinggal di suatu tempat tertentu” adalah penempatan di Rumah
Detensi Imigrasi, Ruang Detensi Imigrasi, atau tempat lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tempat lain” misalnya rumah sakit atau tempat penginapan yang mudah diawasi oleh Pejabat Imigrasi.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika terdeteni tidak
dapat dideportasi setelah lebih dari 10 (sepuluh) tahun berstatus
sebagai terdeteni dapat dipertimbangkan untuk diberikan kesempatan
menjalani kehidupan sebagaimana hak dasar manusia pada umumnya di luar
Rumah Detensi dalam status tertentu dengan mempertimbangkan aspek
perilaku selama menjalani pendetensian, tetapi tetap dalam pengawasan
Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk melalui kewajiban pelaporan
secara periodik.
Ayat (4)
Ketentuan ini
dimaksudkan agar pengawasan terhadap kegiatan dan keberadaan Deteni
tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat. Selain itu, upaya
Deportasi ke negaranya atau negara ketiga yang bersedia menerimanya
tetap dilakukan.
Pasal 86
Yang dimaksud dengan
“korban perdagangan orang” adalah seseorang yang mengalami penderitaan
psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tempat lain” antara lain tempat penginapan, perumahan, atau asrama yang ditentukan oleh Menteri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“perlakuan khusus” adalah peraturan dalam Rumah Detensi Imigrasi yang
berlaku bagi terdetensi tidak sepenuhnya diperlakukan bagi para korban
karena para korban bukan terdetensi.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang mengajukan permintaan secara langsung
kepada Pejabat Imigrasi yang berwenang di Tempat Pemeriksaan Imgrasi
dalam keadaan mendesak untuk mencegah orang yang disangka melakukan
tindak pidana dan melarikan diri keluar negeri.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “keadaan yang mendesak” misalnya yang akan dicegah
dikhawatirkan melarikan diri keluar negeri pada saat itu juga atau telah
berada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi untuk keluar negeri sebelum
keputusan Pencegahan ditetapkan.
Yang dimaksud dengan
“Pejabat Imigrasi tertentu” adalah Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi atau unit pelaksana teknis lain.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Keputusan Pencegahan secara tertulis diterbitkan oleh instansi yang memintanya atau memohonkan untuk pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Instansi yang menerbitkan keputusan Pencegahan tersebut berkewajiban menyampaikan kepada orang yang dikenai Pencegahan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Yang dimaksud dengan
“mengajukan keberatan” adalah upaya hukum yang diberikan kepada orang
yang terkena Pencegahan untuk melakukan pembelaan diri atas Pencegahan
yang dikenakan kepada dirinya.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berakhir demi hukum
merupakan alasan berakhirnya Pencegahan dan yang bersangkutan dapat
melakukan perjalanan keluar Wilayah Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Kewenangan Penangkalan
merupakan wujud dari pelaksanaan kedaulatan negara untuk menjaga
keamanan dan ketertiban umum yang dilaksanakan berdasarkan alasan
Keimigrasian.
Ayat (2)
Pejabat yang berwenang dalam ketentuan ini adalah pimpinan instansi pemerintah.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan ketentuan ayat ini didasarkan pada asas kejahatan ganda (double criminality)
oleh masing-masing negara. Misalnya kejahatan peredaran uang palsu,
terorisme, atau narkotika yang dinyatakan sebagai tindak pidana di
Indonesia dan di negara asal Orang Asing yang bersangkutan.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Koordinasi dengan
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan sejak
diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan
penyidikan sampai dengan selesainya pemberkasan, dan penyampaian
tembusan berkas perkara kepada penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Koordinasi ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih
penyidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Perkawinan semu adalah
perkawinan seorang warga Negara Indonesia atau seorang asing pemegang
Izin Tinggal dengan seorang asing lain dan perkawinan tersebut bukan
merupakan perkawinan yang sesungguhnya, tetapi dengan maksud untuk
memperoleh izin tinggal atau Dokumen Perjalanan Republik Indonesia. Dari
sisi hukum perkawinan itu merupakan bentuk penyelundupan hukum.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.