Penulis : Dhipie Kuron
Medan adalah lapis legit, bolu meranti, duren “ucok”, dan bika ambon. Itu yang terlintas ketika tugas mengunjungi Medan dilimpahkan padaku. Sekalipun ini hanya perjalanan singkat, aku berangan-angan, pulang nanti tanganku akan diisi tentengan dus bertuliskan “zulaikha” dan “meranti”. Perjalanan ini sangat singkat, berangkat dengan penerbangan pertama dari Jakarta pulang dengan penerbangan terakhir. Selain belanjaan, aku terpikir untuk mampir ke beberapa tempat wisata kuliner seperti bakso lembu di jalan singa dan kolak durian, takjil khas medan. (kunjungan ini dilakukan di bulan puasa).
Saat mataku menangkap atap-atap rumah dari seng menyembul diantara rimbun pepohonan, pramugari mengumumkan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Polonia. Tibalah aku di kota dimana berbagai budaya melebur. Berbagai suku seperti batak, jawa, hokian, bahkan diaspora India asal tamil hidup bersama di medan sejak beratus tahun lalu.
Diaspora Tamil tiba di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Mereka dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Sekalipun pada masa penjajahan Jepang sebagian besar dari perantau tamil kembali ke India, ada sebagian yang memilih menetap di Indonesia. Kawasan tempat tinggal “Tamil Indonesian” di Medan , dinamai kampung keling. Keling berarti hitam. Aku menyambangi kampung ini seusai rapat, sekalipun kini kampung keling tak lagi di dominasi etnis tamil. Kawasan yang sudah berubah menjadi pusat bisnis kini dihuni sebagian besar oleh etnis Tionghoa. Fenomena pergeseran mayoritas penduduk di kampung keling terjadi sejak tahun 1950-an, seiring dengan perubahan perekonomian.
-- Tangga masuk Graha Maria Annai Velangkani --
Seusai rapat pertama di salah satu pusat perbelanjaan dekat kampung keling, aku putuskan berjalan kaki. Ketika asyik mengagumi kuil Hindu, landmark kampung keling, seorang pengemudi becak motor berujar “sekalian lihat kuil Kristen, kak?”. Ia mencoba menawarkan jasanya sembari memberikan informasi kalau sekitar 20 Kilometer dari kampung Keling telah berdiri kuil untuk beribadat kaum Nasrani. “Kuil untuk kristiani bukan gereja?”. Pertanyaan ini menggangguku. Sehingga akupun menyingkirkan wisata kuliner dari jadwal. Aku mencoba bertanya pada rekan-rekan di Medan, tapi mereka tak tau tentang kuil ini. Usai Rapat kedua di Mall yang sama, aku mencari informasi dari Internet. Kata kunci “kuil kristen medan” tidak membuahkan hasil, baru setelah aku mengetikan “gereja india di medan” muncul nama dan alamat “Graha Maria Annai Velangkanni”. Semula aku sangat ingin menuju ke sana dengan angkot, supaya lebih bisa merasakan suasana asli kota Medan. Tapi waktuku sangat terbatas, untunglah rekanan di Medan meminjamkan mobil sekaligus supirnya. Kawanku tak dapat menemani karena masih harus bekerja. Sisa waktu 4 jam sebelum penerbangan pulang, kumanfaatkan mencari “kuil Kristen”, sekalipun berarti pupus sudah semua anganku menikmati lezatnya berbagai oleh-oleh berupa panganan khas Medan.
Kurang dari setengah jam perjalanan dari kampung Keling, tak jauh melewati pasar loak “tanjung Selamat”, Pucuk gereja Maria Anna Velangkani sudah tampak. Gereja yang berdiri tegak di Jl. Sakura III no 10 Tanjung Selamat, Medan.
Dari selebaran yang ada di gereja, Saya mendapat informasi nama Maria Annai Velangkanni memiliki arti Ibu Maria dari Velangkanni. Annai berarti “ibu” sedangkan Velangkanni adalah daerah di Tamil Nadu dimana Bunda Maria pernah menampakan diri di abad ke 17. Daerah tersebut juga dikenal karena kerukunan beragama, khususnya antara umat Hindu dan Islam.
Luar biasa menakjubkan, Graha Maria Annai Velangkanni ini tak hanya menyerupai kuil, bertengger kubah di atap gereja. Kubah identik dengan gaya arsitektur mesjid, tempat ibadah umat Islam. Sungguh merupakan bentuk peleburan budaya yang nyata. Tangga gereja menyerupai travelator, tanpa anak tangga. Bentuk akses masuk ini memberi kesan khusus padaku. Seakan Graha ini memiliki tangan yang berusaha memeluk semua yang datang. Bentuk seperti ini tentu akan memudahkan saudara kita yang disable ataupun para lanjut usia yang telah renta dan perlu duduk di kursi roda untuk masuk ke bagian atas graha.
-- Tulisan di dalam kuil dalam 3 bahasa --
Relief kisah penciptaan diakhiri dengan kisah perjamuan terakhir dalam warna-warni menyala terukir di railing. Bagian utama dari Graha Annai Velangkanni digunakan sebagai gereja. Suasana gereja yang sungguh berbeda. Gereja yang seringkali dibahas aspek arsitekturnya adalah gereja-gereja peninggalan masa Belanda, yang kental bergaya Eropa. Disini kita menemukan cita rasa asia di interior gereja. sudut-sudut gereja dipenuhi patung-patung santo – santa berkalung bunga khas india. Di dinding terdapat bingkai-bingkai berisi cuplikan-cuplikan alkitab alam tiga bahasa: Inggris – Indonesia, dan kemudian satu bahasa lain yang tak saya pahami dan baris ketiga ini entah dalam bahasa hindi atau Tamil. Rasa tertarik yang mendalam, menyebabkan aku melanggar ketentuan, mencuri-curi mengambil gambar dalam ruangan. Padahal jelas ada papan peringatan pengambilan foto di dalam bagian gereja hanya dengan izin suster atau petugas gereja. Sudut lain di halaman Graha berdiri patung Paus Yohannes Paulus dalam sebuah taman kecil. Taman ini adalah sudut favorit anak-anak. Nampaknya wajah ramah sang beato memberikan kenyamanan buat anak-anak bermain di sekitarnya.
-- Wisatawan sedang berfoto --
Pada saat peletakan batu pertama Graha, terjadi-jadi keajaiban, tiba-tiba dari tanah muncul mata air. Di atas sumber air tersebut kini dibangun ruang devosi (penghormatan) bunda Maria. Patung Bunda Maria berwajah asia berhias kain saree bertahta megah di ruang doa yang sangat tenang . Peziarah meyakini, air yang mengalir disana adalah air suci perantara mujizat kesembuhan dari berbagai penyakit. Keajaiban lain dalam pembangunan gereja ini adalah adanya alkitab dan uang sumbangan pembangunan yang tidak terbakar. Kedua benda yang juga dipamerkan di dekat ruang devosi ini tetap utuh sekalipun rumah penyimpanannya ludes dilalap si jago merah.
-- Ruang Devosi --
Fragmen-fragmen yang disajikan para pengunjung sore itu menyejukan hatiku. Seorang suster membimbing gadis kecil berdoa di hadapan patung Yesus, Sekelompok pelajar serius mencatatkan doa permohonan dengan rinci, pemuda yang meneguk air dari sumber air dengan wajah penuh keyakinan pada sang kuasa akan mengalirkan berkat keajaiabn melalui air suci, di bagian halaman serombongan peziarah dari Jakarta asyik berfoto-foto dengan ceria, seakan mendapat pencerahan. Pemandangan unik ini menyadarkanku sungguh indah perbedaan apabila dipadu dalam damai, bukan dipertentangkan di medan perang. Rasanya ingin aku menghabiskan waktu lebih lama, karena dari suster penjaga toko cindera mata aku mendapat info kalau Peziarah luar kota dapat menginap di pondokan sederhana yang dikelola para suster. Sayang tugas di Jakarta menanti esok pagi.
Keunikan Graha Maria Anna Vellangkanni menjadikan menjadi tempat ibadahi tujuan wisata rohani. Penjaga pintu gereja pun bercerita tak hanya umat Katolik yang berkunjung, para penggiat kerukunan beragama, pencinta arsitektur, ataupun wisatawan asing datang untuk menyaksikan secara langsung “Kuil Kristen” milik kota medan ini.
(Tulisan ini pernah dipublikasi di blog pribadi penulis pada bulan Agustus 2010, diedit kembali untuk www.mixmarriageindiaindonesia.blogspot.com)